Sebuah keniscayaan bila organisasi (PMII) bergerak tanpa payung konstitusi yang jelas. Karena konstitusi bagi sebuah organisasi ibarat sebagai penyangga dan pengikat kesatuan seluruh organ sekaligus menentukan kokoh dan tidaknya tubuh PMII. Namun, harus disadari bahwa masih banyak kelemahan dan kesimpangsiuran konsep maupun aplikasi praktis dari bangunan konstitusi PMII. Kritik atas falsafah konstitusi dan konstitusionalisme PMII menjadi sangat penting diungkapkan di sini, sebab Sulit menyimpulkan apakah kalau PMII melakukan kerja-kerja organisasi itu dijiwai / disemangati dan berlandaskan konstitusi yang ada di PMII sendiri.
Menurut Brian Thompson, secara sederhana pertanyaan: what is a constitution dapat dijawab bahwa “…a constitution is a document which contains the rules for the operation of an organization”. PMII sebagai salah satu bentuk organisasi, tentunya juga memiliki naskah yang disebut sebagai konstitusi atau Aturan-Aturan yang mendasar.
Berlakunya suatu konstitusi sebagai Aturan dasar yang mengikat didasarkan atas kekuasaan tertinggi atau prinsip kedaulatan yang dianut dalam suatu organisasi. Jika organisasi itu menganut paham kedaulatan warga/anggota, maka sumber legitimasi konstitusi itu adalah warga/anggota organisasi tersebut. Jika yang berlaku adalah paham kedaulatan pimpinan, maka pimpinan yang menentukan berlaku tidaknya suatu konstitusi. Hal inilah yang disebut oleh para ahli sebagai constituent power yang merupakan kewenangan yang berada di luar dan sekaligus di atas sistem yang diaturnya.
Constituent power mendahului konstitusi, dan konstitusi mendahului struktur organisasi yang diatur dan dibentuk berdasarkan konstitusi. Pengertian constituent power berkaitan pula dengan pengertian hirarki hukum (hierarchy of law). Konstitusi merupakan hukum yang lebih tinggi atau bahkan paling tinggi serta paling fundamental sifatnya, karena konstitusi itu sendiri merupakan sumber legitimasi atau landasan otorisasi bentuk-bentuk hukum atau peraturan-peraturan organisasi lainnya. Sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku universal, maka agar peraturan-peraturan yang tingkatannya berada di bawah Aturan-Aturan Dasar dapat berlaku dan diberlakukan, peraturan-peraturan itu tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi tersebut.
Basis pokoknya konstitusi adalah kesepakatan umum atau persetujuan (consensus) di antara mayoritas konstituen mengenai bangunan yang diidealkan berkenaan dengan organisasi. Organisasi itu diperlukan oleh warga/anggota agar kepentingan mereka bersama dapat dilindungi atau dipromosikan melalui pembentukan dan penggunaan mekanisme yang disebut organisasi. Kata kuncinya adalah konsensus atau general agreement. Jika kesepakatan umum itu runtuh, maka runtuh pula legitimasi kekuasaan organisasi yang bersangkutan, dan pada gilirannya terjadi konflik atau bisa jadi hancurnya sebuah organisasi tersebut.
Meminjam teori Hans Kelsen dan Hans Nawiasky konsensus yang menjamin tegaknya konstitusionalisme di zaman modern pada umumnya dipahami bersandar pada tiga elemen kesepakatan (consensus), yaitu
1. Kesepakatan tentang tujuan atau cita-cita bersama
2. Kesepakatan tentang the rule of law sebagai landasan penyelenggaraan organisasi
3. Kesepakatan tentang bentuk institusi-institusi dan prosedur-prosedur keorganisasian (the form of institutions and procedures).
Kesepakatan (consensus) pertama, yaitu berkenaan dengan tujuan dan cita-cita bersama, kesepakatan ini sangat menentukan tegaknya konstitusi dan konstitusionalisme di suatu organisasi. Karena cita-cita bersama itulah yang pada puncak abstraksinya paling mungkin mencerminkan kesamaan-kesamaan kepentingan di antara sesama warga/anggota organisasi. Oleh karena itu, untuk menjamin kebersamaan dalam kerangka kehidupan berorganisasi, diperlukan perumusan tentang tujuan-tujuan atau cita-cita bersama yang biasa juga disebut sebagai falsafah organisasi yang berfungsi sebagai common platforms atau kalimatun sawa di antara sesama warga/anggota organisasi
Di PMII, dasar-dasar filosofis yang dimaksudkan itulah yang biasa dipakai sebagai dasar ideologis untuk mewujudkan cita-cita ideal PMII mewujudkan Terbentuknya pribadi muslim Indonesia yang bertaqwa kepada Allah SWT, berbudi luhur, berilmu, cakap dan bertanggung jawab dalam mengamalkan ilmunya dan komitmen memperjuangkan cita-cita kemerdekaan Indonesia (AD/ART Bab IV, pasal 4) sebagai komitmen organisasi mengemban komitmen keislaman dan keindonesiaan demi meningkatkan harkat dan martabat umat manusia dan membebaskan bangsa Indonesia dari kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan baik spiritual maupun material dalam segala bentuk (mukadimah alinia ke 4 AD/ART PMII)
Kesepakatan kedua, adalah kesepakatan bahwa system organisasi didasarkan atas aturan hukum dan konstitusi. Kesepakatan atau konsensus kedua ini juga sangat prinsipil, karena dalam setiap organisasi harus ada keyakinan bersama bahwa apapun yang hendak dilakukan dalam konteks perjuangan organisasi haruslah didasarkan atas rule of the game yang ditentukan bersama. Dari sinilah kita mengenal adanya istilah constitutional organisation yang dalam PMII kita kenal dengan adanya AD/ART, dan peraturan-peraturan organisasi lainnya. Karena itu, kesepakatan tentang sistem aturan sangat penting sehingga konstitusi sendiri dapat dijadikan pegangan tertinggi dalam memutuskan segala sesuatu yang harus didasarkan atas aturan-aturan organisasi tersebut. Tanpa ada konsensus semacam itu, konstitusi tidak akan berguna, karena ia akan sekedar berfungsi sebagai kertas dokumen yang mati, hanya bernilai semantik dan tidak berfungsi atau tidak dapat difungsikan sebagaimana mestinya.
Kesepakatan ketiga, adalah berkenaan dengan (a) konstruk organisasi dan prosedur-prosedur internal yang mengatur mekanisme kerja organisasi; (b) relasi PMII dengan warga/anggota organisasi dan relasi PMII sengan institusi, kekuatan dan realitas sekelilingnya. Dengan adanya kesepakatan itu, maka isi konstitusi dapat dengan mudah dirumuskan karena benar-benar mencerminkan keinginan bersama berkenaan dengan institusi organisasi dan mekanisme organisasi yang hendak dikembangkan dalam kerangka kehidupan organisasi berkonstitusi (constitutional organisation).
Dari paparan diatas terkandung maksud bahwa sesungguhnya tak satupun di antara kader PMII yang menghendaki PMII menua, memfosil dan kehilangan peran kesejarahannya. Beberapa tudingan negatif atas keberadaan PMII sebaiknya bisa dijadikan sebagai cambuk bagi PMII untuk kembali melakukan kritik dan otokritik terhadap eksistensi dan kiprahnya selama ini. Sehingga sudah menjadi keharusan untuk menciptakan sebuah kondisi yang mampu menjadikan organisasi tersebut dinamis, peka sosial dan menjadi anak zamannya agar mampu menghantarkan PMII beserta kader-kadernya ‘melek sosial’ dan peradaban dimana ia tidak hanya menjadikan kader PMII kembali kritis dan pejuang perubahan. Lebih dari itu, bagaimana menjadikan organisasi ini dicintai dan terejawantahkannya berbagai nilai-nilai ideologis PMII, serta konsensus bersama, dalam pribadi-pribadi kader dan anggota PMII secara menyeluruh guna menjawab persoalan kekinian maupun akan datang.
di tulis oleh makkhrus nadlori alumni pmii
Tidak ada komentar:
Posting Komentar